UJIAN TENGAH
SEMESTER
BAHASA JURNALISTIK
Dosen :
Dr. Dudi Iskandar, M.I.Kom
Disusun Oleh :
BAHASA JURNALISTIK
Dosen :
Dr. Dudi Iskandar, M.I.Kom
Disusun Oleh :
Esa
Annisa - 1571510591
PUBLIC RELATIONS
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
PUBLIC RELATIONS
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
Rangkuman
buku :
Judul
: KONVERGENSI MEDIA
Penulis
: Dudi Iskandar
Penerbit
: Andi
Tahun
: 2018
Tebal
buku 333 halaman
1.
KONVERGENSI
MEDIA
Media massa mengalami beberapa tahap perubahan,
transformasi, dan bahkan bermetamorfosis. Jika sebelumnya setiap jenis media
massa berdiri sendiri, atau memiliki organisasi dan manajemen mandiri, kini
mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan Konvergensi.
Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikan konvergensi sebagai
proses penyatuan yang terus menerus terjadi di antara berbagai bagian media
seperti teknologi, industry, konten dan khalayak. Burnettand Marshall
mendefinisikan konvergensi sebagai penggabungan industry media, telekomunikasi
dan computer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media
komunikasi dalam bentuk digital. Key Concepts In journalismstudies menegaskan
konvergensi media adalah pertukaran media diantara semua media yang berbeda
karakteristik dan platform-nya.
World
Association of Newspapers (WAN) menemukan enam tren efek internet terhadap
jurnalisme;
1.
Peningkatan
jurnalisme partisipatif atau komunitas penghasilan isi berita
2.
Munculnya
riset audiensi tentang pola penggunaan madia
3.
Penyebaran
informasi (berita) yang dibuat sendiri secara online dan perangkat telepon
seluler
4.
Penataan
kembali newsroom yang lebih fokus kepada audiensi
5.
Pengembangan
bentuk baru tentang narasi/storytelling yang disesuaikan dengan audiensi dan
saluran yang baru
6.
Pertembungan
audiensi yang fokus pada penyesuaian berita dan juga penyesuaian berita pada
multimedia
Sementara itu
menurut John V. Pavlik dalam dunia digital, jurnalisme modern mengalami 5 area perubahan, antara lain;
1.
Pengumpulan
dan pelaporan berita
2.
Pengumpulan
informasi, pengindeksa, dan pengemabngannya, khususnya konten untuk multimedia
3.
Proses,
produksi dan editorial
4.
Distribusi
dan penerbitan, serta
5.
Penampilan,
tata letak dan akses.
Konvergensi juga merupakan aplikasi dari
teknologi digital yaitu integrasi teks, suara, angka, dan gambar, bagaimana
berita diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dam Spillman
menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi antara lain crosspromotion
(lintas promosi), cloning (penggandaan). Dengan konvergensi media, berita yang
dahulu disebut mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi, kini definisi tersebut
berubah menjadi peristiwa yang sedang terjadi. Konvergensi media bakal
menghadirkan konstruksi social media baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam setiap siaran, tayangan dan tulisan di
media mengandung ideology dan kepentingan pemilik, pemegang saham, redaktur,
prosedur, penulis atau editornya. Hal ini disebabkan siaran, tayangan dan atau
tulisan untuk khalayak, baik yang dijual ataupun digratiskan akan membentuk
makna tertentu. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam
sebuah proses komunikasi, yaitu : makna si penutur, makna bagi si pendengar,
dan makna tanda (signmeaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna adalah
hubungan social yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan reseptor
ketika tindakan sedang berlangsung.
Makna timbul karena ada interaksi antara satu
orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai media. Dalam media
massa, interaksi adalah melalui siaran, tayangan dan tulisan. Tayangan, tulisan
dan siaran yang dilontarkan dan menjadi perbincangan khalayak disebut wacana
(discourse). Makin besar wacana yang dihasilkan melalui media, makin besar
peluang memproduksi makna untuk khalayak. Banyak cara yang dilakukan media
dalam memproduksi wacana, antara lain, strategi signing, framing dan printing.
Signing adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal.
Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek
wacana. Priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacan
depan khalayak.
1.2
KONVERGENSI
MEDIA DI INDONESIA
Ada Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup
mereka bersaing dalam urusan perluasan atau penyebaran media berita yang
beritanya sama namun berbeda dalam isi serta cara penyampaiannya. Hal ini
dilakukan demi eksistensinya terus berlangsung dalam membuat berita. Terkadang
disalah satu media tersebut harus ada pembelaan terhadap berita yang mereka
keluarkan demi menjaga citra baik perusahaan tersebut.
1.3
KONVERGENSI DI
BELAHAN DUNIA
Menurut Yuyan Ernest Zhang menyatakan bahwa
konvergensi sebagai sesuatu yang tidak terelakan di era digital. Disini di
butuhkan strategi untuk terus bertahan dan berkembang. Ada tiga factor yang
menyebabkan konvergensi tidak bisa dihindari, yakni, proses organisasi dari
atas ke bawah (top-downprocess), proses tekanan dari konsumen, dan pengendalian
melalui teknologi digital. Pengalaman di beberapa media menunjukkan konvergensi
media akan membuat jurnalisme yang bagus, menghasilkan keuntungan yang
berlimpah, dan pengeluaran yang kecil dan meningkatkan daya saing media
tersebut.
2.
MEDIA SEBAGAI
IDEOLOGI DAN AKTOR POLITIK
Dalam teori wacana Michael Foucault, ada
beberapa istilah kunci, episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi.
Istilah-istilah itu sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Wacana merupakan
kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan
melalui mekanisme yang bersifat plural, produtif, dan menyebar serta diskontruksi
dengan cara simulasi.
Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat
lima wacana yang diangkat dalam penelitian ini menemukan signifikansinya.
Wacana-wacana itu adalah kecurangan kampanye Pilpres, Dugaan pelanggaran HAM
Prabowo, Debat Capres-Cawapres, Konser Salam 2 Jari, dan keberpihakan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola
pikir redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau
pemroduksi wacana.
Penyebaran lima wacana oleh Kompas Grup, Media
Grup, dan MNC Grup, mengandung ideology masing-masing pada masa kampanye
pemilihan Presiden 2014. Ideology adalah makna yang dipakai untuk kekuasaan.
Model umum yang dilakukan sebuah ideology adalah Legitimasi, penipuan, dan
fragmentasi. Wacana yang bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang
tersembunyi.
2.1
KONTESTASI
MEDIA
Pada kampanye Pilpres 2014 sangat terasa
pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Metro TV dengan Surya
Paloh dan Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo di MNC dan Aburizal pada Viva.
Masingmasing menggunakan media untuk kepentingan politik para pemiliknya.
Televisi khususnya yang menggunakan frekuensi public seharusnya dipergunakan
untuk kepentingan public bukan untuk kampanye politik golongan tertentu.
Masing-masing
menggunakan media untuk kepentingan politik para pemiliknya. Sebenarnya
keberpihakan media terhadap partai politik atau kandidat tertentu tifak hanya
terjadi di Indonesia. Di luar negri pun sama saja. Banyak media yang memilih
dan berafiliasi dengan partai politik atau simpatisan kandidat tertentu. Inilah
salah satu risiko media dikuasai pedagang dan politisi. Pergeseran pola di
media ini diawali oleh perpindahan kepemilikan dari wartawan ke pengusaha atau
politisi. Para pemilik yang berlatar belakang pengusaha dan politisi tidak
memahami kode jurnalistik dan undang-undang secara mendalam meskipun kita tidak
memungkiri ada beberapa grup media yang tetap melakukan tugas jurnalismenya
secara benar. Hal yang harus dicermati adalah pergeseran penerapan kode etik
jurnalistik pada anggota grup-grup media tersebut. Pergeseran ini terjadi
akibat kian besarnya perusahaan media tersebut. Nuansa politik dan
kepentingannya sangat kental terasa.
Komisi
Penyiaran Indonesia sudah membaca pertarungan media pada Pilpres 2014 kan
berlangsung terbuka, vulgar, dan cenderung sarkastis. Kleh sebab itu, KPI
bersama KPU dan BAWASLU membuat kesepakatan tentang rambu-rambu aktivitas media
penyiaran, bahwa ranah publik tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan
pribadi, kelompok, atau partai politik tertentu. Karena yang berhak
mengeluarkan peraturan tersebut adalah KPU. Persoalan lain adalah KPI
berhadapan dengan “orang-orang kreatif”. Mereka akan selalu mempunyai cara dan
celah mengakali peraturN. Oleh karena itu, KPI menhGingatkandeengan membuat
surat edaran sebelum pemilu bahwa dengan mengutip pasal 36 Undang-Undang
Penyiaran, bahwa frekuensi itu tidak boleh digunakan pemilik media dan
kelompoknya karena ini harus netral.
Sesungguhnya
pertarungan di televisi adalah murni bisnis, bukan ideologi kecuali jika
kapitalisme sebagai ideologi. Namun, dalam pertarungan Pilpres 2014 para
pemilik media sangat pragmatis. Inilah salah satu konsekuensi dari
demokratisasi karena pada ajhirnya adalah pergulatan kekuasaab. Untuk merebut
kekuasaan itu, pengusaha atau partai politik akan memanfaatkan segalanya,
pengusaha atau partai politik akan memanfaatkan segalanya terutama yang
stategis untuk merebut kekuasaan tersebut. Saat ini yang paling strategis adalah
penguasaan media massa meskipun sekarang ada fenomena tentang sosial media maka
ia akan menggunakan itu.
Dalam
televisi antara juralisme dan etika harus dibedakan dan memang dalam ranah yang
berbeda. Namun, pendekatan legal formal membuat etika tidak berdaya. Etika
berkaitan dengan pendekatan moral dan tanggung jawab sosial. Namun, pemikiran
semacam ini tidak populer sehingga akhirnya tetap terjebak dengan pemikiran,
pendekatan yang legal formal. Padahal pendekatan etis untuk menyelesaikan
persoalan di KPI lebih luwes sebenarnya kecuali kalau satu kali, dua kali dan
tiga kali pendekatan etis tidak bisa, hukun formal harus ditegakkan tetapi
kemudian alatnya yang menggebuk itu benar atau tidak.
Kalau
dipilah secara makro, mikro dan meso maka level makro adalah yang menggambarkan
kondisi masyarakat Indonesia. Pada tataran meso DPR dan eksekutif, sedangkan
mikronya apa yang terjadi pada media kita harusakui saat ini yang kuat adalah
kapitalisme, puncak dari demokratisasi yang kemudian ditingkahi dengan
kapitalisme itu hanya materi hanya kekuasaan. Ini bukan cerminan
antidemokratis. Dalam sistem kapitalistik pola-pola pengambilan keputusNnya
adalah transaksional bukan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, pertarungan
media di tahun 2014 akan terulang pada pilpres 2019 karena polanya sama.
Harus diakui bahwa keberpihakan politik dalam
kampanye Pilpres 2014 membuat media-media yang berafiliasi atau dimiliki oleh
politisi dari partai politik tertentu kualitas beritanya sangat buruk. Bahkan,
untuk sekedar memenuhi kode etik jurnalistik saja tidak bisa. Oleh sebab itu,
masyarakat harus sadar bahwa tidak ada media yang netral. Media hanya
menyediakan pilihan dan penilaian terhadap calon tertentu. Media memilki
bingkai dan kepentingan tertentu dalam berita-beritanya.
2.2
ETIKA
JURNALISTIK
Sepanjang perjalanan perubahan jurnalisme dari
cetak, telivisi, radio, dan kini situs berita (media online) selalu
menghadirkan persoalan. Salah satu persoalan mendasar adalah dilema etika
jurnalisme dan keguncangan etika yang paling dahsyat dari kehadiran situs
berita yang bersifat online. Publikasi media online yang berskala global tidak bisa
disesuaikan dengan perangkat etika journalism lama. Etika jurnalisme berfungsi
untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan public pun
mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan.
Etika
jurnalistik karena hasil kreasi manusia masih perlu dipeedebatkan. Bahkan,
etika dalam beberapa prespektif tergantung yang mempergunakan. Hal ini pula
yang sedang terjadi pada jurnalisme situs berita, yang secara kasatmata sudah
mengubah tradisi jurnalisme tradisional. Secara teoritis etika jurnalistik
bersifat global, meski implementasinya di media tradisional menyesuaikan dengan
kondisi lokal.
Masalah lain adalah persoalan etika pada format
jurnalisme. Etika yang media cetak minded harus segera ditinggalkan. Kesadaran
akan digital harus menghadirkan Etika yang berbeda, yakni etika digital minded.
Kegagalan mengubah dan memahami etika digital minded ini akan menyebabkan
kegalauan epistemology. Kode etik jurnalistik memiliki sejarah yang panjang
dengan media cetak dan jurnalistik itu diformulasikan oleh media cetak. Bahwa
kemudian muncul ragam ataupun format jurnalisme yang baru didorong oleh
teknologi komunikasi, itu kemudian memunculkan varian-varian lain dalam kode
etik.
2.3
POST JURNALISM
Perkembangan jurnalisme kontemorer sangat
mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi
komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan
dirinya. Namun, patokan-patokan membuat kebenaran harus terus disampaikan.
Inilah yang belum berubah karena kalau komitmen jurnalisme terhadap laporan
fakta pudar, berarti jurnalisme mati; jurnalisme selesai.
Model keberagaman dalam kerja jurnalistik
inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena Post-Jurnalism. Istilah ini
berangkat dan berakar dari post-truth. Kamus oxford mendefinisikan post-truth
sebagai kondisi ketika fakta dalam jurnalistik tidak terlalu berpengaruh dalam
membentuk opini public dibanding emosi dan keyakinan personal. Artinya, fakta
atau periswtiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal bakal semata, tetapi
yang membentuk presepsi dan pengaruh ke public adalah adukan emosi, rasa
sentiment, dan keyakinan pribadi.
Dalam konteks hubunagn media dengan jurnalistik
politik realitas, kepentingan publik sangat sulit dipisahkan dari kepentingan
partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media televisi khususnya.
Fenomena post-truth sangat menggila di media sosial. Twitter, misalnya adalah
media sosial paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas
post-truth ini. Di dunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi
post-truth. Hal ini menunjukan kegamangan jurnalisme dalam menghadapi realitas
politik yang penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Dengan demikian post-truth
dan post-journalism adalah satu jalur berbeda nama.
Dalam PostJurnalism tidak
ada standar etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme disebut
dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat kesulitan untuk membedakan
antara berita dan hoax, informasi palsu dan keterangan asli, gossip dianggap
berita. Dan sebaliknya berita dianggap sebagai gossip. Kini di Indonesia berada
di Post-Jurnalism. Pertarungan sarkatis, vulgar, dan tuna etika dibidang media
bahkan tidak mungkin terjadi pada Pilpres 2019, bahkan dengan lebih
dahsyat lagi. Sesungguhnya Pilpres 2019 adalah babak kedua dari Pilpres 2014.